Laman

Jangan marah sebelum membaca seluruh isi

jika anda adalah seorang akademis, bacalah seluruh isi artikel ini, jangan berhenti pada Judul saja.

Mungkinkah saya seorang Nabi

| Rabu, 05 Januari 2011 | 0 komentar |
Memang Nabi terakhir dalam Islam adalah Nabi Muhammad. Beliau adalah Nabi penutup. Jika ada yang mengaku Nabi sesudah beliau maka tidak diragukan lagi maka orang itu adalah Nabi palsu. Dan orang yang mempercayainya otomatis akan dinilai sesat. Karena itu umat Islam wajib mempercayai hal ini. Setidaknya itulah yang sudah lazim dikotbahkan, diceramahkan dan ditulis dalam banyak buku agama Islam (mainstream). Termasuk dalam banyak diskusi dan omong-omong seputar Islam. Tapi …
Saya ini kan bandel bin gatal
Kadang-kadang saya terima klaim seperti itu. Tapi kadang-kadang tidak. Walaupun ada ayat Alquran yang mengarah ke pengertian seperti itu (yang hafal Alquran bantu saya mengutipnya). Kenapa? Saya tidak mudah percaya. Ini kunci kejahatan saya. Tidak mudah percaya dengan segala dogma. Walaupun banyak umat beragama dan aliran kepercayaan, mengklaim ajarannya dari Tuhan. Sehingga dengan modal klaim dari Tuhan, secara tersirat semua itu tidak mungkin salah. Dan secara tidak langsung ingin menyatakan YOU harus percaya. Kalau tidak YOU masuk neraka.
Definisi Nabi itu bagi saya lain.
Tidak semua orang punya kepekaan akan nilai-nilai Religius. Ini saya akui. Tapi apakah ini sudah kodrat? Jika memang kodrat, maka percuma dong saya dihidupkan Tuhan tanpa saya dapat memilih dan mengembangkan diri. Apa artinya saya dihukum dan diberi pahala jika toh saya sudah disetting dari sononya. Katanya di Luf Mahfuz. Artinya segala perbuatan saya bukan atas kehendak saya. Jika penalaran ini diterima, sama saja dengan Tuhan kurang kerjaan (maaf anda jangan tersinggung. Contohlah Tuhan yang tidak mudah tersinggung).
Saya diciptakan. Lalu diberi akal. Kata Tuhan gunanya untuk berpikir. Tapi saya tidak bisa memilih. Alias sudah ditakdirkan begini begitu. Singkat kata segalanya sudah ditentukan Tuhan dari A sampai Z dan dari nol sampai angka terakhir (mati atau kiamat). Nah, apakah tidak lucu penalaran seperti ini? Atau otak saya ini yang cara kerjanya sudah tidak beres? Bukankah pahala dan dosa itu baru klop jika segala perbuatan saya atas kehendak saya. Atas pilihan saya?
Nah, jika penalaran di atas saya nilai ngawur, alias tidak nalar, maka saya harus meloncat ke model penalaran berikutnya. Berarti segalanya bukan ditentukan oleh Tuhan. Tuhan hanya bikin hukum alam. Melalui mekanisme hukum alam itulah segala gejala dan aktivitas unsur alam diproses. Ada mekanisme kausalitas. Yang tidak makan ya lapar. Yang main air ya basah. Yang belajar yang jadi pandai. Dan seterusnya. Ini konsekwensi dari hukum alam.
Jika penalaran ini saya terima, berarti tidak ada manusia yang istimewa dari manusia lainnya. Tuhan Maha Adil. Tidak ada Tuhan pilih kasih. Bahkan … ujung-ujungnya tidak ada istilah utusan Tuhan (Nabi, Yesus dan lain-lain). Yang ada adalah ada manusia tertentu yang kuat dan peka mengasah penalaran dan perenungannya. Sehingga terjadi kontak dengan dimensi alam spiritual yang juga merupakan bagian dari hukum alam. Yaitu hukum alam yang bersifat psikis. Sama dengan aksi reaksi perasaan antar sesama manusia. Mirip dengan bagaimana anda yang perempauan jika jatuh cinta pada saya. Sehingga ketika anda rindu pada saya, klik! Maka saya pun juga akan merasa rindu pada anda. Tanpa ada perjanjian bahwa kita harus saling merindu. Tanpa ada kabel LAN yang mengubungakan antara hati saya dengan hati anda. Kenapa hal itu bisa terjadi? Karena memang ada mekanisme hukum alam yang bersifat spiritual. Bersifat bathin. Ada interaksi bathin. Nah, para Nabi dan Rasul, bagi saya bisa masuk pada kategori ini. Mereka mengadakan kontak dengan Tuhan melalui mekanisme hukum spiritual, hukum alam bathiniah. Dimenasi hukum psikis. Sehingga mereka mendapatkan pencerahan spiritual. Seperti juga pencerahan intelektual pada seorang pemikir.
Hanya saja mereka dilabeli dengan banyak nama. Entah itu Nabi, Rasul, Rabi, Buddhis, Rohaniawan, Cendekiawan atau Cendawan sekalipun. Terserah apa namanya. Bisa juga Tuhan namanya, seperti yang diklaim untuk Yesus (maaf ini pendapat saya lho. Jangan marah dulu. Tuhan Bapa sendiri tidak pemarah bukan).
Nah, semua nama itu adalah semcam pengakuan, penghormatan, pemuliaan dan pengagungan pada sosok-sosok orang yang seperti itu. Kejadian seperti ini tidak sulit dibuktikan. Bagaimana proses seorang tokoh yang semula beranjak dari manusia biasa, kemudian karena ada kelebihan (karena kegigihannya, apapun bidangnya) lambat laun menjelma menjadi seorang pakar, guru, suhu, master, kyai, sampai… dengan istilah Nabi (atau Tuhan pada Yesus, maaf).
Nah, Kenabian, Kerasulan, Ketuhanan (khusus pada Yesus), adalah diangkat oleh manusia. Dinobatkan atau dibaptis oleh manusia secara bersama-sama. Pada mulanya mulai dari satu dua tiga orang kemudian menjalar sampai pada banyak orang. Kalau pada Muhammad, yang pertama kali mengakui Kenabiannya adalah isterinya Khadijah. Kemudian seorang pendeta Nasrani pada waktu itu, sepupu dari Kahadijah sendiri (aslinya saya tidak tahu. Ini kan berdasarkan bacaan. Memangnya saya hidup di zaman itu). Setelah itu diakui lagi oleh Ali bin Abi Thalib. Karena dia juga tinggal di rumah Muhammad. Berikutnya Abu Bakar, Umar bin Khatttab dan seterusnya. Sampai kemudian secara bertahap merambah ke berbagai wilayah antar suku daerah dan Negara.
Begitu juga dengan penokohan pada seseorang. Silahkan saja anda sebut siapa tokohnya. Pada mulanya berangkat dari kekaguman akan pemikiran, perenungan, penghayatan atau kepandaiannya akan sesuatu. Lalu dikagumi dan akhirnya secara bertahap berubah menjadi pengagungan. Nah, seandainya tidak ada satu orang pun yang mengakui kelebihan prestasi seseorang seperti itu, apakah akan terjadi seseorang itu menjadi seorang tokoh atau Nabi?
Jangan dikira tidak ada orang yang seperti itu. Tapi karena tidak populis, tidak dieskpos, tidak disiarkan, maka keunggulannya itu hanya menjadi untuk dirinya sendiri. Sebagai contoh untuk penalaran ini, jangan dikira yang tidak pernah menulis di Kompasiana tidak pandai menulis, bahkan mungkin bisa jauh jauh lebih hebat kemampuan menulisnya dari semua Kompasianer. Tapi karena dia menulis hanya untuk dirinya sendiri, disimpan di Ms Word dan folder komputernya saja, maka tidak ada orang lain yang mengetahuinya.
Nah, itulah yang disebut proses kultuisasi. Proses pengkultusan pada seorang sosok. Pada seorang tokoh. Dan orang yang terbius oleh kultuisme inilah calon-calon nasionalis vigur. Nasionalisme agama, nasinalisme Nabi, Nasionalisme Muhammad, Nasionalisme Yesus, dan lain-lain. Sehingga jika mereka temukan ada suatu pendapat yang berbeda apalagi ada orang yang menghina (menurut mereka) vigur yang dikultuskannya, maka mereka akan langsung mengamuk. Karena objek pemujaannya sudah diganggu oleh orang lain.

Jadi apa hubungannya dengan judul tulisan ini?
Ah.. masak anda tidak bisa menghubungkannya.
Kalau tidak bisa menghubungkannya ya bertanya juga boleh kok.
Masak langsung marah-marah.

Agama Baha'i Shalat Menghadap ke Israel

| Selasa, 04 Januari 2011 | 0 komentar |
Tulungagung (vo-islam) - Sebuah aliran keagamaan bernama Baha`i menjadikan Gunung Caramel di Israel sebagai kiblat dalam shalat. Aliran yang berkembang di Desa Ringipitu, Kedungweru, Tulungagung, Jawa Timur, ini juga hanya mewajibkan pengikutnya salat sekali dalam sehari.
Selain itu, Ajaran ini mengharamkan jamaahnya menikah dengan selain angotanya. Para pengikut ajaran ini menerbitkan surat nikah sendiri untuk menikahkan antar-pengikut. Artinya, mereka tak melibatkan kantor urusan agama. Mereka juga meminta dalam kartu tanda penduduk dituliskan nama agama Baha`i. Kini pengikut aliran ini sudah ratusan jamaah.

Karena dinilai meresahkan, warga telah melayangkan surat ke Majelis Ulama Indonesia dan instansi terkait untuk membubarkan aliran ini. Namun MUI belum mengeluarkan fatwa terhadap aliran Baha`i dengan alasan ajarannya ini tak menistakan enam agama yang dilegalkan pemerintah.
"Agama ini [Baha`i] punya nabi dan kitab suci sendiri," kata Sekretaris MUI Tulungagung Abu Sofyan. Abu Sofyan menambahkan pihaknya pernah memanggil pendiri ajara Baha`i bernama Slamet Riyadi beserta 11 tokoh lain. Abu Sofyan akan menyerahkan kasus ini kepada pemerintah.
Ajaran Baha`i berkembang dari Israel yang mewajibkan pengikutnya salat satu kali saja dalam sehari dan menghadap ke Gunung Caramel, bukan Kabah yang biasa menjadi kiblat umat muslim. Nabi mereka Muhammad Husain Ali yang bergelar Bahaulloh dan kitab sucinya bernama Akhdas. (PurWD/lip 6)

Tulisan Suci Kaum Baha'i

| | 0 komentar |
Perbaikan dunia dapat tercapai melalui perbuatan-perbuatan yang murni dan baik, melalui tingkah laku yang terpuji dan pantas.
                                                                     - Baha'ullah


Tentang Kesatuan


Tujuan dasar yang menjiwai Keyakinan dan Agama Tuhan ialah untuk melindungi kepenti-ngan-kepentingan umat manusia dan memajukan kesatuan umat manusia, serta untuk memupuk semangat cinta kasih dan persahabatan di anta-ra manusia.
Bahá’u’lláh

Diberkatilah dan berbahagialah ia yang bangkit untuk memajukan kepentingan-kepentingan terbaik semua kaum dan bangsa di bumi. Dalam ayat lain Dia telah mengumumkan: Kebanggaan tidaklah terletak pada mencintai tanah airnya sendiri, melainkan pada mencintai seluruh dunia. Bumi hanyalah satu tanah air dan umat manusia warganya.
Bahá’u’lláh

Kami sangat senang melihat engkau setiap waktu bergaul dengan penuh persahabatan dan kerukunan di dalam surga rida-Ku, dan Kami sangat suka menghirup dari perbuatan-perbuatanmu bau harum keramah-tamahan dan kesatuan, kasih sayang dan persahabatan. Demikianlah nasihat yang diberikan kepadamu oleh Yang Maha Mengetahui, Yang Maha Setia. Kami akan selalu bersamamu; jikalau Kami menghirup wangi persahabatanmu, kalbu Kami pasti akan bergembira, karena tiada sesuatu pun selain itu yang dapat memuaskan Kami.
Bahá’u’lláh

Inilah Hari saat karunia-karunia Ilahi yang paling unggul telah dicurahkan kepada manusia, Hari saat anugerah-Nya yang paling agung telah diembuskan ke dalam segala ciptaan. Diwajibkan kepada semua bangsa di dunia untuk menyelesaikan perselisihan-perselisihan mereka, dan dengan persatuan dan per-damaian yang sempurna hidup di bawah naungan Pohon pemeliharaan dan kasih-sayang Tuhan. Mere-ka seyogianya berpegang teguh pada apa saja yang mengakibatkan keluhuran martabat mereka di Hari ini, serta yang memajukan kepentingan mereka yang terbaik.
Bahá’u’lláh

Bergaullah dengan semua agama dalam per-sahabatan dan keselarasan, agar mereka dapat menghirup  dari-Mu  keharuman  Tuhan. Berhati-hatilah, jangan sampai api kebodohan menguasai dirimu diantara orang-orang. Segala sesuatu berasal dari Allah, dan kepada-Nyalah semua akan kembali. Ia sumber segala sesuatu dan semua berakhir kepada-Nya.
Bahá’u’lláh


WAHAI ANAK-ANAK MANUSIA!

Tidak tahukah engkau mengapa Kami menjadikan engkau semua dari tanah yang sama?  Supaya yang satu janganlah meninggikan dirinya di atas yang lainnya.  Renungkanlah selalu dalam kalbumu bagaimana engkau dijadikan.  Karena Kami telah menjadikan engkau semua dari zat yang sama, maka adalah kewajibanmu untuk laksana satu jiwa, berjalan dengan kaki yang sama, makan dengan mulut yang sama dan berdiam dalam negeri yang sama, supaya dari wujudmu yang terdalam, dengan perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakanmu, tanda-tanda kesatuan dan hakikat keterlepasan dapat dijelmakan.  Demikianlah nasihat-Ku kepadamu.  Wahai kumpulan cahaya!  Perhatikanlah nasihat ini, supaya engkau memperoleh buah kesucian dari pohon kemuliaan yang gaib.
Bahá’u’lláh
 

Tentang Pendidikan


Manusia adalah Azimat yang paling agung. Na mun karena ti dak diberi pendidikan yang layak, dia telah di rugikan dari apa yang di milikinya sebagai pembawaan. Me lalui satu kata yang berasal dari mulut Tuhan, manusia di wujudkan; dengan satu kata lagi, dia dibimbing untuk me ngenal Sumber pendidikannya; dan dengan satu kata lagi, kedudukan dan takdirnya dilindungi. Perwujudan Agung berfirman: Anggaplah manusia sebagai suatu tambang yang kaya dengan permata-permata yang tak ternilai harganya. Hanya pendidikanlah yang dapat mengeluarkan harta kekayaan-nya, dan memungkinkan umat manusia mendapat keuntungan darinya.
Bahá’u’lláh

Mengenai pertanyaanmu tentang pen-didikan anak-anak: diwajibkan bagimu agar mengasuh mereka dalam dada cinta kasih Tuhan, dan mendorong mereka kearah hal-hal rohani, agar mereka dapat menghadap-kan wajah mereka kepada Tuhan; agar perilaku mereka dapat sesuai dengan peraturan-peraturan dan tingkah laku yang baik dan akhlak mereka tak tertandingi; agar mereka beradab dan memiliki semua sifat manusia yang terpuji; agar mereka memperoleh dasar yang kuat dari pengetahuan dalam berbagai cabang ilmu, sehingga mulai dari awal hidup, mereka dapat menjadi orang-orang yang rohani, penghuni Kerajaan, terpikat oleh hembusan manis kesucian, dan dapat memperoleh pendidikan agama, kerohanian, pendidikan yang berasal dari Kerajaan Surgawi. Se-sungguhnya aku memohon kepada Tuhan untuk memberi mereka hasil yang mem-bahagiakan dalam hal ini.
Bahá’u’lláh
 

Tentang Ketunggalan Agama


Ketahuilah olehmu dengan pasti, bahwa hakikat semua Utusan Tuhan adalah satu dan sama. Kesatuan mereka adalah kesatuan mutlak. Tuhan, Sang Pencipta berfirman: Tidak ada perbedaan apa pun di antara para Pembawa Amanat-Ku. Tujuan mereka hanyalah satu; rahasia mereka adalah rahasia yang sama. Tidaklah diizinkan untuk lebih menghormati salah satu Utusan atau memuliakan beberapa Utusan di atas yang lainnya.

Tentang Moral


Katakanlah, Wahai para Sahabat! Perbuatan- lah yang menjadi perhiasanmu, bukan perkataan.
Bahá’u’lláh

Kata-kata suci dan perbuatan yang murni dan baik naik ke langit kemuliaan surgawi.
Bahá’u’lláh


Kejujuran adalah dasar dari segala ke-bajikan manusia.
Abdu’l-Bahá

Tanpa kejujuran, kemajuan dan keber-hasilan dalam semua alam Tuhan tidaklah mungkin bagi siapa pun.
Abdu’l-Bahá
 

Kehidupan Abadi


Dan kini, mengenai pertanyaanmu tentang roh manusia dan kelangsungan hidupnya setelah kematian. Ketahuilah kebenaran ini, bahwa roh, setelah berpisah dari tubuh, akan terus maju hingga mencapai hadirat Tuhan, dalam keadaan dan kondisi yang tidak dapat diubah oleh perputaran abad dan zaman, maupun oleh nasib dan peristiwa dunia ini.  Roh akan berlangsung selama Kerajaan Tuhan, kedaulatan-Nya, kekuatan dan kekuasaan-Nya berlangsung.  Roh akan mewujudkan tanda-tanda dan sifat-sifat Tuhan, dan menyatakan kasih sayang dan karunia-Nya.

Ketahuilah bahwa setiap telinga yang men-dengar, jika murni dan bersih, harus selalu mendengarkan dari segala arah suara yang mengucapkan kata-kata suci berikut: ‘Sesungguhnya, kita adalah milik Tuhan, dan kepada-Nyalah kita akan kembali.’ Rahasia-rahasia kematian jasmani manusia dan kembalinya kepada Tuhan, belum diberitahukan, dan masih tetap tertutup.  Demi kebenaran Tuhan! Rahasia-rahasia itu jika dibukakan, akan mengakibatkan ketakutan dan kesedihan yang sedemikian rupa, sehingga sebagian orang akan binasa, sedangkan yang lainnya akan begitu di-penuhi dengan keriangan sehingga meng-inginkan kematian, dan memohon dengan kerinduan yang tiada putusnya kepada Allah Yang Maha Esa, diluhurkanlah kemuliaan-Nya, agar mempercepat akhir mereka.

Kematian mempersembahkan kepada setiap mukmin yang yakin, cawan ke-hidupan sejati. Kematian memberikan keriangan, dan merupakan pembawa ke-gembiraan. Kematian menganugerahkan kehidupan abadi.

Mengenai orang-orang yang telah mencicipi buah dari kehidupan manusia di dunia ini, yakni mengenal Allah Yang Maha Esa, diluhurkanlah kemuliaan-Nya, kehidupan mereka di akhirat adalah se-demikian rupa sehingga Kami tak dapat melukiskannya. Pengetahuan tentang hal itu hanya ada pada Allah, Tuhan sekalian alam.
Bahá’u’lláh


Sejarah Agama Baha'i

| | 1 komentar |

Báb

Pada tahun 1844 Sayyid ‘Alí Muhammad dari Shíráz, Iran, yang lebih dikenal dengan gelarnya Sang Báb (artinya “Pintu” dalam bahasa Arab), mengumumkan bahwa dia adalah pembawa amanat baru dari Tuhan. Dia juga menyatakan bahwa dia datang untuk membuka jalan bagi wahyu yang lebih besar lagi, yang disebutnya “Dia yang akan Tuhan wujudkan”. Antara lain, Sang Báb mengajarkan bahwa banyak tanda dan peristiwa yang ada dalam Kitab-kitab suci harus dimengerti dalam arti kias, bukan arti harfiah. Dia melarang perbudakan, juga melarang perkawinan sementara, yang pada waktu itu merupakan praktek Syiah Iran.
Agama Báb tumbuh dengan pesat di semua kalangan di Iran, tetapi juga dilawan dengan keras, baik oleh pemerintah maupun para pemimpin agama. Sang Báb dipenjarakan di benteng Máh-Kú di pegunungan Azerbijan, di mana semua penduduk bersuku bangsa Kurdi, yang dikira membenci orang Syiah; tetapi tindakan itu tidak berhasil memadamkan api agamanya, dan mereka pun menjadi sangat ramah terhadap Sang Báb. Kemudian dia dipenjarakan di benteng Chihríq yang lebih terpencil lagi, tetapi itu juga tidak berhasil mengurangi pengaruhnya. Pada tahun 1850 Sang Báb dihukum mati dan dieksekusi di kota Tabríz. Jenazahnya diambil oleh para pengikutnya secara diam-diam, dan akhirnya dibawa dari Iran ke Bukit Karmel di Palestina (sekarang Israel) dan dikuburkan di suatu tempat yang ditentukan oleh Bahá’u’lláh. Makam Sang Báb kini menjadi tempat berziarah yang penting bagi umat Bahá’í.

Bahá’u’lláh

Antara tahun 1848 dan 1852, lebih dari 20.000 penganut agama Báb telah dibunuh, termasuk hampir semua pemimpinnya. Mírzá Husayn ‘Alí yang lebih dikenal dengan gelarnya Bahá’u’lláh (artinya “Kemuliaan Tuhan” dalam bahasa Arab) adalah seorang bangsawan Iran yang menjadi pendukung utama Sang Báb. Pada tahun 1852, ketika Bahá’u’lláh ditahan di penjara bawah tanah Síyáh-Chál (“lubang hitam”) di kota Teheran, dia menerima permulaan dari misi Ilahinya sebagai “Dia yang akan Tuhan wujudkan” sebagaimana telah diramalkan oleh Sang Báb. Bahá’u’lláh menceritakannya sebagai berikut: “Suatu malam dalam mimpi, firman-firman yang luhur ini terdengar dari segenap penjuru: ‘Sesungguhnya, Kami akan memenangkan-Mu melalui Diri-Mu serta pena-Mu. Janganlah Engkau bersedih hati atas apa yang telah menimpa-Mu, dan janganlah takut pula, sebab Engkau ada dalam keadaan selamat. Tak lama lagi, Tuhan akan membangkitkan harta-harta bumi, orang-orang yang akan membantu-Mu melalui Diri-Mu dan melalui Nama-Mu, dengan mana Tuhan telah menghidupkan kembali hati mereka yang mengenal Dia.’”
Bahá’u’lláh dibebaskan dari Síyáh-Chál, tetapi dia diasingkan dari Iran ke Baghdad, ‘Iráq. Pada awalnya, Bahá’u’lláh tidak mengumumkan misinya kepada para penganut agama Báb lainnya di ‘Iráq, yang berada dalam keadaan sangat kacau dan hina. Dia mulai mendidik dan menghidupkan kembali umat itu melalui tulisannya dan teladannya, dan beberapa Kitab suci Bahá’í yang penting berasal dari masa Baghdad ini, seperti Kalimat Tersembunyi, Tujuh Lembah, dan Kitáb-i-Íqán (“Kitab Keyakinan”). Pada tahun 1863, di sebuah taman yang diberi nama Taman Ridwán, Bahá’u’lláh mengumumkan misinya kepada para pengikut Báb yang berada di Baghdad, dan sejak itu agama ini dikenal sebagai agama Bahá’í.
Segera setelah pengumuman itu, Bahá’u’lláh diminta oleh pemerintahan Turki untuk pindah ke Konstantinopel (Istanbul), dan dari sana ke kota Adrianopel (Edirne). Di Adrianopel Bahá’u’lláh mulai mengirimkan “Loh-loh” kepada berbagai raja dan pemimpin dunia, yang mengumumkan kepada mereka kedatangan Hari Tuhan dan menyerukan agar mereka berdamai. Misalnya, salah satu loh yang ditujukan kepada para raja secara kolektif, berbunyi: “Wahai raja-raja di bumi! Kami melihat engkau setiap tahun meningkatkan pengeluaranmu, dan membebankannya pada rakyatmu. Ini sesungguhnya, sama sekali dan jelas tidak adil.…Rakyatmu adalah hartamu…jangan sampai engkau menyerahkan rakyatmu ke tangan perampok.…Wahai para penguasa di bumi! Berdamailah di antaramu sendiri, sehingga engkau tidak lagi memerlukan persenjataan, kecuali apa yang dibutuhkan untuk menjaga wilayah-wilayah…dalam kekuasaanmu.…Wahai raja-raja di bumi! Bersatulah, karena dengan demikianlah prahara perselisihan akan berakhir di antaramu, dan rakyatmu akan memperoleh ketenangan…”
Pada tahun 1868, Bahá’u’lláh diasingkan ke kota ‘Akká di Palestina (sekarang Israel), yang pada waktu itu dipakai sebagai penjara oleh kekaisaran Usmani. Pada awalnya, Bahá’u’lláh dipenjarakan di barak di ‘Akká, tetapi dengan berlalunya waktu kondisi hidupnya semakin membaik, walaupun secara resmi dia masih seorang pesakitan. Kitab suci yang mengandung kebanyakan hukum Bahá’í, Kitáb-i-Aqdas (“Kitab Tersuci”), diturunkan di ‘Akká. Pada tahun 1892, Bahá’u’lláh wafat di Bahjí dekat ‘Akká, tempat yang menjadi Qiblat agama Bahá’í.

‘Abdu’l-Bahá

Dalam Kitáb-i-‘Ahd, surat wasiatnya, Bahá’u’lláh telah menunjuk putranya, ‘Abdu’l-Bahá sebagai pemimpin agamanya dan Penafsir tulisannya. Hal itu menjamin agar agama Bahá’í tidak mengalami perpecahan.
‘Abdu’l-Bahá telah mengalami pembuangan dan pemenjaraan yang panjang bersama ayahnya. Setelah dia dibebaskan sebagai akibat dari “Revolusi Pemuda Turki” (pada tahun 1908), dia mengadakan suatu perjalanan besar selama tahun 1910-1913 ke Mesir, Inggris, Skotlandia, Perancis, Amerika Serikat, Jerman, Austria, dan Hungaria, di mana dia mengumumkan prinsip-prinsip ajaran Bahá’í. ‘Abdu’l-Bahá juga mengirimkan ribuan surat ke masyarakat-masyarakat Bahá’í setempat di Iran, dengan akibat umat itu yang dahulu miskin dan hina menjadi berpendidikan dan mandiri. ‘Abdu’l-Bahá wafat di Haifa pada tahun 1921, dan kini dikuburkan di salah satu ruang dari Makam Sang Báb.

Shoghi Effendi dan Balai Keadilan Sedunia

Dalam Surat Wasiat ‘Abdu’l-Bahá, cucunya, Shoghi Effendi ditunjuk sebagai “Wali Agama Tuhan”. Selama masa hidupnya, Shoghi Effendi menterjemahkan banyak tulisan suci Bahá’í, melaksanakan berbagai rencana global untuk pengembangan masyarakat Bahá’í, mengembangkan Pusat Bahá’í Sedunia, melakukan surat-menyurat dengan banyak masyarakat dan individu Bahá’í di seluruh dunia, dan membangun struktur administrasi Bahá’í yang mempersiapkan jalan untuk didirikannya Balai Keadilan Sedunia. Shoghi Effendi meninggal pada tahun 1957.
Menurut Kitáb-i-Aqdas, urusan masyarakat Bahá’í setempat dan nasional harus ditangani oleh badan-badan musyawarah yang sekarang dinamakan “Majelis Rohani”, yang terdiri dari sembilan anggota yang dipilih secara demokratis. Pada tingkat internasional, Kitáb-i-Aqdas menetapkan sebuah lembaga yang dinamakan “Balai Keadilan Sedunia”, yang dipilih oleh para anggota Majelis-majelis Rohani Nasional di seluruh dunia. Balai Keadilan Sedunia telah dipilih untuk pertama kalinya pada tahun 1963, dan sejak itu dipilih tiap lima tahun sekali. Selain berlaku sebagai pemimpin agama Bahá’í, Balai Keadilan Sedunia diberi fungsi khusus oleh Bahá’u’lláh untuk membuat hukum-hukum yang tidak ditetapkan dalam Kitáb-i-Aqdas; aspek ini dianggap penting karena memberi agama Bahá’í fleksibilitas untuk menghadapi perubahan zaman tanpa kehilangan persatuannya.

Hukum Bahá’í

Kebanyakan hukum Bahá’í terdapat dalam Kitáb-i-Aqdas tetapi hukum-hukum itu akan diterapkan secara bertahap sesuai dengan keadaan masyarakat. Beberapa hukum Bahá’í yang sudah berlaku secara umum adalah yang berikut ini:
  • Sembahyang wajib Bahá’í.
  • Membaca tulisan suci tiap hari.
  • Dilarang bergunjing dan memfitnah.
  • Menjalankan puasa Bahá’í tiap tahun.
  • Minuman beralkohol dan obat bius dilarang, kecuali untuk perawatan medis.
  • Hubungan seksual hanya diperbolehkan antara suami dan isteri, dan hubungan homoseksual tidak diperbolehkan.
  • Dilarang berjudi.
Dalam ajaran Bahá’í, memisahkan diri dari dunia tidak diperbolehkan, tetapi sebaliknya manusia harus bekerja. Melakukan pekerjaan yang berguna dianggap beribadah.

Perkawinan

Perkawinan Bahá’í adalah bersatunya seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Tujuannya terutama bersifat rohani dan adalah demi keselarasan, persahabatan, dan persatuan pasangan itu. Ajaran Bahá’í menyebutkan perkawinan sebagai benteng kesejahteraan dan keselamatan dan menempatkan lembaga keluarga sebagai pondasi struktur masyarakat manusia. Bahá’u’lláh sangat memuji lembaga perkawinan dan menyatakannya sebagai perintah abadi Tuhan. Perceraian diperbolehkan, tetapi hanya setelah pasangan tinggal satu tahun terpisah, sambil mencoba menyelesaikan perselisihannya.
Dua orang Bahá’í yang ingin menikah harus saling mempelajari karakter mereka dan saling mengenal sebelum mengambil keputusan untuk menikah, dan ketika mereka menikah, maksud mereka harus untuk membuat suatu ikatan yang kekal. Orang tua tidak boleh memilih jodoh bagi anak-anak mereka, tetapi begitu dua orang memutuskan untuk menikah, pasangan itu wajib mendapatkan persetujuan dari semua orang tua, meskipun salah seorang dari pasangan itu tidak beragama Bahá’í. Upacara Bahá’í sangat sederhana; satu-satunya kewajiban adalah pembacaan ayat dari Kitáb-i-Aqdas yang berikut ini, oleh mempelai pria dan mempelai wanita, di depan dua orang saksi: "Kita semua, sesungguhnya, tunduk akan Kehendak Tuhan."

Administrasi

Kalender Baha'i
Kalender Bahá’í berdasarkan kalender yang telah ditetapkan Sang Báb. Satu tahun terdiri dari 19 bulan yang masing-masing terdiri dari 19 hari, ditambah 4 atau 5 hari sisipan yang membuatnya satu tahun matahari penuh. Tahun Baru Bahá’í, yang namanya “Naw-Rúz”, sama dengan Tahun Baru tradisional Iran, yang jatuh pada ekuinoks tanggal 21 Maret, pada akhir bulan puasa Bahá’í.
Urusan masyarakat setempat ditangani oleh Majelis Rohani Setempat, yang dipilih tiap tahun oleh para mukmin. Pemilihan itu harus dilakukan tanpa nominasi, partai, atau kampanye pada kenyataannya, semua orang dewasa adalah calon—dan dalam suasana penuh doa dan meditasi. Pada awal tiap bulan Bahá’í, ada pertemuan seluruh masyarakat setempat yang namanya “selamatan sembilan belas hari”. Di samping bertujuan berdoa bersama dan sosial, selamatan sembilan belas hari itu memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berinteraksi dengan Majelis Rohani Setempat, untuk mengajukan usulan dan bermusyawarah bersama.
Majelis Rohani Nasional juga dipilih tiap tahun dengan cara yang sama, tetapi melalui dua tahap, yaitu para mukmin di seluruh negeri memilih wakil-wakil yang kemudian memilih para anggota Majelis Rohani Nasional. Sebagaimana telah disebutkan, para anggota Majelis-majelis Rohani Nasional di seluruh dunia memilih Balai Keadilan Sedunia tiap lima tahun.
Di samping badan-badan musyawarah itu, ada pula beberapa individu yang ditunjuk untuk waktu tertentu, yang mendidik dan membantu masyarakat Bahá’í, terutama dalam hal pengembangan dan perlindungan agama. Tetapi individu-individu ini bukannya berfungsi sebagai pendeta, yang tidak ada dalam agama Bahá’í.

Rumah Ibadah kaum Baha'i

Rumah ibadah

Rumah ibadah Bahá’í dinamakan “Mashriqu’l-Adhkár” (“Tempat-terbit pujian kepada Tuhan”), yakni tempat untuk berdoa, meditasi dan melantunkan ayat-ayat suci Bahá’í dan agama-agama lain. Rumah ibadah Bahá’í ini terbuka bagi orang-orang dari semua agama.
Rumah ibadah Bahá’í bertemakan ketunggalan: harus mempunyai sembilan sisi dengan sebuah kubah di tengahnya, dan direncanakan untuk masa depan sebagai pusat dari berbagai lembaga sosial bagi masyarakat setempat, termasuk rumah sakit, universitas, rumah jompo, dan lain sebagainya. Sampai sekarang di seluruh dunia ada tujuh Rumah ibadah Bahá’í—di New Delhi, India; Kampala, Uganda; Frankfort, Jerman; Wilmette, Illinois, Amerika Serikat; Panama City, Panama; Apia, Samoa Barat; dan Sydney, Australia.

Kegiatan

Di samping sembahyang wajib, yang dilakukan secara perseorangan, dan selamatan sembilan belas hari, ada pula kegiatan doa bersama, yang terbuka bagi orang dari semua agama, di mana doa-doa dibacakan dari tulisan suci berbagai agama. Masyarakat Bahá’í setempat juga melakukan pendidikan kerohanian bagi anak-anak serta suatu program pendidikan bagi orang dewasa dan pemuda yang dipelajari melalui kelompok-kelompok belajar. Program ini, yang pada awalnya dikembangkan oleh Institut Ruhi di Kolombia, Amerika Selatan, membahas berbagai tema, seperti kehidupan roh, doa, pendidikan anak-anak, pendidikan remaja, riwayat hidup Sang Báb dan Bahá’u’lláh, dan pengabdian sebagai dasar dari kehidupan. Kegiatan kelompok belajar dan kelas anak-anak juga terbuka bagi orang-orang dari agama apa saja yang ingin ikut serta.
Ada sembilan hari besar yang dirayakan oleh masyarakat Bahá’í, yang memperingati peristiwa-peristiwa khusus dalam sejarah Bahá’í.
Apabila masyarakat Bahá’í sudah cukup besar di suatu tempat, mereka didorong untuk merencanakan dan melakukan proyek-proyek pengembangan sosial dan ekonomi untuk membantu menangani berbagai masalah yang dihadapi masyarakat umum. Sampai sekarang kebanyakan proyek ini dalam bidang pendidikan dan kesehatan.

Perserikatan Bangsa-Bangsa

Umat Bahá’í telah mendukung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sejak permulaannya. Bahá’í International Community (“Masyarakat Internasional Bahá’í”), suatu badan yang berada di bawah arahan Balai Keadilan Sedunia, memiliki status “hak berkonsultasi” dengan organisasi-organisasi PBB yang berikut ini:
Bahá’í International Community memiliki kantor di Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York dan Geneva, juga perwakilan di komisi-komisi PBB regional serta kantor-kantor lainnya di Addis Ababa, Bangkok, Nairobi, Roma, Santiago dan Wina. Pada tahun-tahun terakhir ini suatu “Kantor Lingkungan Hidup” dan “Kantor untuk Kemajuan Kaum Perempuan” telah didirikan sebagai bagian dari Kantor PBB Bahá’í International Community itu. Agama Bahá’í juga telah bekerja bersama dalam mengembangkan program-program dengan berbagai instansi PBB lainnya. Dalam Millennium Forum dari Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 2000, seorang Bahá’í menjadi satu-satunya orang non-pemerintah yang diundang untuk memberikan pidato.

untuk Informasi detail tentang Agama Baha'i, silahkan kunjungi situs resmi Agama Baha'i di http://www.bahaiindonesia.org/start.php.

Agama saya Islam Pragmatis

| | 0 komentar |
Satu lagi agama baru saya luncurkan untuk merusak keyakinan anda. Untuk menyesatkan anda. Untuk mencuci otak anda dengan ajaran sampah dari setan seperti saya. Agar anda menjadi seorang pembangkang agama dan akhirnya lolos masuk neraka.
Ada orang yang bersikukuh menyatakan hingga berkotbah panjang lebar sambil mengutip ayat-ayat agama bahwa dirinya baik. Tapi kenyataannya pribadi dan prilakunya sama sekali tidak baik. Ini contoh pertama. Contoh kedua adalah orang yang tidak berceloteh apa-apa bahkan tidak peduli dengan segala konsep agama, tapi pribadinya baik. Nah, mana yang anda pilih?
Orang pertama berteori tentang kebaikan, tapi kenyataannya pribadinya tidak baik
Orang kedua tidak berteori tentang kebaikan, tapi kenyataannya justru pribadinya baik.
Nah, secara gamblang, pada contoh yang kedualah inti dari sikap seorang Pragmatis. Yaitu sikap yang terarah pada bukti, pada hasil, pada hal-hal yang kongkrit. Bukan pada teori dan sesuatu yang abstrak. Lebih kurang inilah kunci dari paham Pragmatisme. Sesuatu dianggap benar jika terbukti berfungsi dan ada hasilnya dalam kenyataan. Pertanyaan pokok kaum pragmatis adalah: “Apa untungnya jika saya beragama?” Bukan: “Apa yang dimaksud dengan agama?” Artinya agama akan dianggap benar jika memberi manfaat dalam kehidupan nyata. Tapi jika tidak, maka beragama sama sekali tidak ada gunanya.
Meskipun ada 3 tokoh eksponen Filsafat Pragmatisme (William James, John Dewey dan Richard Rorty), tapi pada tulisan ini titik tolak saya adalah Pragmatisme John Dewey. Sehubungan dengan tulisan ini, ada 3 kunci paham Dewey yang relevan menurut saya:

Pertama, Naturalisme
Dewey berangkat dari paham Darwin tentang teori seleksi alam. Segala hal di dunia ini berevolusi secara mekanis. Segalanya bergerak, berubah sejalan dengan mekanisme hukum alam. Tidak ada satu hal pun yang datang dan hadir secara tiba-tiba jatuh dari langit. Semuanya tetap melewati proses hukum sebab akibat. Tetap ada dinamika proses yang alamiah. Baik unsur yang inderawi maupun yang bersifat psikologis. Mengatakan bahwa anda bisa makan karena ada nasi jatuh dari langit adalah suatu kebodohan. Mengatakan anda merasa bahagia karena ada rasa yang tiba-tiba meyusup kedalam hati anda secara sim salabim dari langit juga sebuah kebodohan. Karena bila dirinci secara cermat, dibalik segala yang anda alami itu ada rangkaian mata rantai sebab akibat yang tidak pernah putus.
Karena itu sehubungan dengan ini Dewey menolak soal agama dan Tuhan. Dia seorang Prgamatis yang Atheis. Bagi Dewey agama hanya sebuah mitologi. Wahyu adalah semacam refleksi psikologis manusia dalam menghayati keberadaan hidupnya. Sehingga sebuah agama (Kitab Suci) hanya sebagai insprirasi agar manusia terstimulir untuk melakukan tindakan-tindakan yang sejalan dengan hukum alam yang dimanis.
Karena segalanya terus berubah secara dinamis, maka manusia juga harus membuka diri terhadap perubahan. Sehubungan dengan ini maka tujuan hidup manusia bukan untuk memuja Kebenaran seperti yang diwartakan oleh agama. Tapi adalah untuk membangun keberadaannya sendiri secara terus menerus. Manusia tidak mencari Kebenaran yang sudah ada dalam ilusi imajinernya, seperti dalam konsep agama. Tapi manusia justru menciptakan dan membangun kebenaran relatif kondisional terus menerus terus menerus  sesuai kondisi real yang dihadapainya, agar hidupnya lebih bermafaat dan berarti.

Kedua, Instrumentalisme
Konsekwensi dari naturalisme di atas, Dewey berpandangan bahwa pengetahuan dan keyakinan hanyalah sebuah instrumen. Sebuah alat. Bukan sebuah Kebenaran atau Hakikat. Ketika saya mengatakan bahwa bermoral itu adalah hakikat hidup, maka keyakinan saya ini hanya sebuah pendorong agar saya mau bertindak menjadi orang yang bermoral. Artinya keyakinan tidak dipahami sebagai Kebenaran Absolut yang sudah ada di langit. Atau dari Tuhan. Tapi hanya sebagai alat pemicu tindakan moral bagi manusia. Yang terpenting di sini adalah hasil. Bukti nyata. Bukan pada konsep keyakinannya. Bukan pada agamanya. Bukan pada adanya Tuhan atau tidak.
Sepanjang tindakan manusia bisa memberi hasil dalam hidup, maka itu sudah cukup. Terserah apa saja yang akan dijadikan sebagai instrumen, yang akan dijadikan sebagai alat. Mau menggunakan agama, mau meyakini Tuhan, mau Atheis, mau Liberal dan bla bla bla, sepanjang hasilnya terbukti maka itulah seorang Pragmatis. Dan itulah inti dari Instrumentalisme.
Dengan kata lain penekananya adalah pada pengalaman nyata. Saya bisa saja tahu banyak hal tentang Internet, tapi jika saya tidak bisa megoperasikannya, maka pengetahuan saya itu tidak ada gunanya. Karena tidak ada hasilnya. Tidak ada pengalaman otentik saya dengan hidup. Tidak ada kontak relasional saya dengan realitas.
Jadi yang terpenting bagi Dewey adalah be coming bukan Being. Manusia, bukan Tuhan. Bumi, bukan langit. Hari ini, bukan nanti. Praktek, bukan teori. Hasil, bukan alat.

Lalu apa hubungannya dengan Islam?
Meskipun Dewey seorang Atheis dan mendasarkan pahamnya pada naturalisme, tapi saya mengadopsi sisi pragmatisnya, yang bagi saya sangat realistis dan penuh vitalitas.
Benar Islam adalah keyakinan yang saya peluk, sebagai nilai-nilai Universal dari Tuhan. Tapi saya tidak boleh menjadikan nilai-nilai Islam itu sebagai selimut yang utopis dan ilusif . Visi sempurana Islam harus saya tarik menjadi sugesti untuk mencari berbagai kemungkian yang paling efektif dalam hidup. Kata kuncinya di sini bukan pasrah dalam buaian ayat-ayat, dalam suntikan dogma, tradisi, ceramah dan kotbah. Tapi justru harus bergerak dan terus berubah mencari kemungkinan terbaik sesuai dengan situasi dan kondisi nyata yang saya hadapi.
Menarik pola Keislaman di zaman Nabi Muhammad (Arab) ke zaman sekarang ibaratnya sama dengan memaksa anak saya berjalan kaki sejauh 20 Km ke sekolah seperti di zaman nenek saya tempo dulu. Padahal sudah ada berbagai pilihan alat transportasi yang bisa memudahkan perjalananya. Sudah ada pilihan yang lebih efektif dan efisein. Hemat dan cepat!
Karena itu jika saya ngotot, sama artinya saya menolak kenyataan bahwa dunia sudah berubah. Kehidupan sudah berevolusi dari zaman purba ke hari ini. Dari Abad Klasik ke Abad Postmodern.
Karena itu jika saya tetap ngotot, maka sama artinya Islam hanya akan menjadi belenggu. Islam akan menjadi penghambat kemajuan. Islam akan menjadi barang antik yang dipajang di lemari kaca tapi tidak bisa digunakan dalam kehidupan nyata.
Meminjam pragmatisme Dewey, selain sebagai naungan spiritual,  Islam bagi saya juga harus menjadi instrumen. Harus menjadi solusi persoalan secara praktis. Bukan kotbah sloganistis yang bertele-tele. Islam harus menjadi  sumber inspirasi. Harus menjadi dimanit yang membakar semangat. Agar hidup lebih bergairah dan bermakna.

Tentang Quran, Konsep Kelengkapan, dan Superioritas Budaya

| | 0 komentar |

Jika kegiatan penafsiran dalam suatu agama yang kemudian dituangkan dalam “interpretational text” itu terus berjalan, maka itu pertanda bahwa agama bersangkutan masih merupakan agama yang hidup dan aktif. Begitu kegiatan penafsiran berhenti, atau malah dihalang-halangi karena dikhawatirkan akan melahirkan pandangan-pandangan baru yang “menyimpang”, maka itu pertanda adanya perkembangan yang tak sehat dalam agama bersangkutan.
ISLAM adalah agama yang bisa kita kategorikan sebagai “agama berkitab suci” (scriptured religion). Semula kitab suci ini bersifat oral atau teks lisan yang tidak dituangkan dalam bentuk tulisan, tetapi pada perkembangan belakangan kitab suci itu “diresmikan” dalam bentuk dokumen tertulis. Apa yang disebut dengan “kitab suci” umumnya adalah teks tertulis, dan karena itulah dalam bahasa Inggris disebut sebagai “scripture” atau tulisan.
Dalam Islam, kitab suci utama, sebagaimana kita tahu semua, adalah Quran, istilah Arab yang secara harafiah artinya adalah “bacaan. Di samping Quran, ada kitab suci lain yang keududukannya bisa disebut sebagai tafsir atau penjelasan atas Quran, dan disebut hadis atau sunnah. Hadis adalah istilah Arab yang secara harafiah artinya adalah “omongan” atau “ujaran”. Sementara “sunnah” artinya tindakan yang dibiasakan sehingga menjadi suatu tradisi. Baik hadis atau sunnah adalah ujaran, tindakan atau penetapan (taqrir, confirmation) yang berasal dari Nabi Muhammad.
Kalau mau, kita bisa menyebut Quran sebagai Kitab Suci Perdana (primary Scripture), sementara Hadis atau Sunnah adalah Kitab Suci Kedua. Sebagai teks, jelas hadis lebih banyak jumlahnya ketimbang Quran. Dari segi isi dan tema, hadis memiliki cakupan pembahasan yang jauh lebih luas ketimbang Quran. Oleh karena itu, penggambaran bahwa hadis atau sunnah semata-mata sebagai “penjelas teks Quran” sebetulnya tidak tepat. Hadis dan sunnah tidak sekedar menjelaskan Quran. Dalam banyak hal, hadis juga membuka tema baru yang sama sekali tidak ada dalam Quran.
Contoh yang sederhana, dalam Quran tidak kita temukan pembahasan tentang jenis-jenis kegiatan manusia dalam perdagangan atau sejenisnya. Yang kita baca dalam Quran hanyalah penegasan umum yang tertuang dalam sebuah ayat yang terkenal, “wa ahallal-Lahu al-bai’a wa harrama al-riba”, Tuhan membolehkan perdagangan, dan mengharamkan riba. Dalam Quran tidak disebutkan sejumlah transaksi-transaksi lain yang kita kenal melalui hadis dan kemudian dikembangkan lebih lanjut dalam disiplin pengetahuan yang disebut fiqh atau hukum Islam. Transaksi itu misalnya: syirkah (kongsi dagang), mudarabah (permodalan), musaqah/muzara’ah (penggarapan tanah), salm (biasa diterjemahkan sekarang sebagai “future trading”), hawalah (penjualan surat hutang), dsb.
Itu hanya contoh-contoh transaksi yang disebutkan dalam hadis tetapi tidak kita temukan dalam Quran. Contoh-contoh itu saya pakai untuk menunjukkan bahwa hadis atau sunnah tidak semata-mata menjelaskan Quran, tetapi juga membawa tema baru yang tidak disebutkan di sana.  Cakupan hadis lebih luas ketimbang Quran.
BAIK Quran dan sunnah bisa dikategorikan sebagai “foundational text”, teks dasar yang menjadi fondasi Islam. Karena kehidupan umat Islam terus berkembang, dan isu-isu baru yang dihadapi oleh mereka juga terus bermunculan, sementara itu tidak semua hal dan isu ada jawabannya dalam Quran dan sunnah, maka dibutuhkan “teks baru”. Teks itu, untuk mudahnya, kita sebut saja sebagai “interpretational text”, teks-teks tafsiran yang tentu didasarkan pada kedua teks fondasi di atas. Ribuan teks diproduksi atau ditulis oleh ulama, sarjana, dan intelektual Muslim sejak abad pertama Hijriyah hingga sekarang. Selama umat Islam ada, kegiatan untuk memproduksi teks-teks tafsiran ini tak akan berhenti.
Tafsir Quran, misalnya, ditulis oleh sarjana Islam sejak dahulu hingga sekarang, dalam berbagai bahasa, dan dengan berbagai ragam pendekatakan. Imam Ghazali, salah satu sarjana besar Islam dari abad ke-12 Masehi, menganalogikan Quran dengan samudera luas yang tak pernah kering. Analogi ini, sebetulnya, bisa kita pakai pula untuk kitab-kitab suci agama lain. Semua kitab suci dalam agama-agama manapun adalah seperti samudera luas yang tak bertepi. Dalam setiap agama, kitab suci selalu menjadi sumber inspirasi dan tafsiran yang tak kering-keringnya. Dalam agama Yahudi atau Kristen, teks-teks tafsiran atas kitab suci kedua agama itu terus diproduksi hingga sekarang. Dalam setiap agama, kitab suci selalu menjadi “foundational text”, teks dasar yang kemudian melahirkan sejumlah “interpretational text” yang jumlahnya terus berkembang, nyaris tanpa henti.  Selama agama bersangkutan masih menjadi “a living religion” atau agama yang hidup, bukan “dead religion” (agama yang sudah mati), maka kegiatan memproduksi teks-teks tafsiran itu tak akan pernah berhenti.
Jika kegiatan penafsiran dalam suatu agama yang kemudian dituangkan dalam “interpretational text” itu terus berjalan, maka itu pertanda bahwa agama bersangkutan masih merupakan agama yang hidup dan aktif. Begitu kegiatan penafsiran berhenti, atau malah dihalang-halangi karena dikhawatirkan akan melahirkan pandangan-pandangan baru yang “menyimpang”, maka itu pertanda adanya perkembangan yang tak sehat dalam agama bersangkutan.
SALAH satu gagasan yang populer di kalangan umat Islam adalah konsep tentang Quran sebagai kitab suci yang lengkap dan sempurna . Konsep “kesempurnaan/kelengkapan” ini menjadi kian penting pada saat umat Islam merasakan adanya semacam “ancaman peradaban” yang datang dari luar saat ini. Kalau kita telaah tradisi penafsiran Quran pada periode klasik (yaitu antara abad ke-8 hingga ke-12 Masehi, periode di mana kegiatan intelektual dalam dunia Islam mencapai puncak kreativitasnya), sebetulnya konsep “kelengkapan/kesempurnaan” itu tidak terlalu mendapatkan perhatian yang khusus. Saat itu, sebagai sebuah peradaban, Islam sedang naik daun dan kemudian mencapai titik apek tertinggi. Karena sebagai peradaban Islam berada pada posisi yang dominan, maka konsep kelengkapan dan kesempurnaan tidak terlau ditonjol-tonjolkan oleh sarjana Islam ketika itu. Sebagai peradaban, Islam memang sudah unggul, jadi, kenapa pula mesti dikatakan bahwa Islam adalah agama yang sempurna, dan Quran adalah kitab yang lengkap?
Abad ke-20 menyaksikan perkembangan yang lain sama sekali. Umat Islam mundur dalam semua lapangan kehidupan. Sebagai peradaban, dunia Islam kalah jauh di banding dengan peradaban Barat. Dengan kata lain, sebagai peradaban, Islam disalip oleh peradaban lain. Bahkan, belakangan, ada perasaan bahwa umat Islam berada dalam ancaman dari luar. Sebuah buku yang ditulis oleh seorang cendekiawan Muslim Mesir, Dr. Muhammad Husain Mu’nis, menyandang judul seperti ini, Hushununa Muhaddah Min Dakhiliha (Benteng Kita Terancam Dari Dalam). Pada periode sebelum revolusi Iran pecah pada 1979 dulu, salah satu istilah yang populer adalah “gharb zadegi” atau “west-toxification” atau keracunan kebudayaan Barat. Di kalangan umat Islam revivalis (contoh yang bagus adalah PKS atau golongan tarbiyah), ada istilah populer, yaitu “al-ghazw al-fikri” atau serbuan pemikiran.
Istilah-istilah itu menandakan satu hal: bahwa dunia Islam merasa diancam oleh suatu “musuh besar” yang datang dari luar. Musuh dari luar itu kemudian “meracuni” pemikiran anak-anak Islam sehingga dalam tubuh umat Islam muncul juga apa yang sering disebut sebagai “musuh-musuh dalam selimut”. Ancaman dari dalam inilah yang dengan baik digambarkan oleh judul buku yang ditulis oleh Dr. Mu’nis di atas. Keadaan ini menciptakan mentalitas-serangan atau “siege mentality” yang ciri-cirinya, antara lain, adalah menguatnya dorongan untuk menegaskan identitas diri. Penegasan identitas terjadi karena adanya dorongan untuk menciptakan semacam “benteng” sebagai perlindungan diri dari serangan luar. Di sinilah, konsep tentang “kesempurnaan dan kelengkapan” Islam dan Quran muncul ke permukaan sebagai sarana simbolik untuk melindungi identitas umat.
Tak ada yang mengherankan dalam proses tersebut. Itu adalah proses yang wajar dalam semua masyarakat umat manusia. Di mana-mana, saat suatu masyarakat terancam, tentu mereka akan membuat “self-defense mechanism,” mekanisme pertahanan-diri. Pertahanan itu bisa bersifat inderawi, misalnya pertahanan militer, tetapi juga bisa simbolik, dalam bentuk pertahanan budaya. Konsep tentang kelengkapan dan kesempurnaan Quran adalah salah satu bentuk “pertahanan budaya” yang dimobilisasi oleh umat Islam untuk menangkal serangan budaya dari luar.
MESKIPUN wajar, ada beberapa akibat negatif dari dari gagasan tentang kelengkapan dan kesempuraan itu. Salah satunya adalah sikap-sikap eksklusivistik atau tertutup terhadap golongan-golongan di luar agama sendiri, bahkan golongan dalam agama yang sama tetapi memiliki pandangan yang berbeda. Kenapa konsep tentang kelengkapan ini kemudian membuahkan sikap ketertutupan? Ini adalah pertanyaan yang menarik untuk ditelusuri lebih jauh. Esai pendek ini jelas tidak memadai untuk menejelaskan gejala kejiwaan semacam itu. Mungkin butuh artikel tersendiri yang panjang dan mendalam untuk menjelaskan kecenderungan tersebut.
Namun, secara umum dan mungkin agak spekulatif, dapat dikatakan bahwa anggapan tentang kelengkapan dan kesempurnaan suatu budaya bisa membawa akibat lain, yaitu rasa superior budaya. Perasaan superior atau unggul bisa menyebabkan seseorang atau golongan tertentu memiliki rasa “cukup diri” (self sufficiency) secara kebudayaan, sehingga tak perlu belajar dari golongan lain. Jika saya atau kami sudah cukup, kenapa mesti mengambil dari yang lain? Dari sanalah, sikap tertutup itu muncul ke permukaan.
Tidak dalam semua kasus tentunya rasa superior membuat seseorang atau golongan tertutup dan eksklusif. Dalam kasus lain, seseorang atau golongan dengan penuh keyakinan membuka diri pada dunia luar justru karena dia merasa unggul dan di atas angin. Ini terjadi pada periode Islam klasik, saat peradaban Islam mencapai titik apek atau puncak. Pada periode itulah, umat Islam dengan tanpa khawatir dan was-was membuka diri pada peradaban lain, menyerapnya, dan mengolahnya kembali menjadi budaya milik sendiri, tanpa merasakan adanya ancaman yang datang dari luar.
Pada zaman di mana umat Islam merasakan ancaman dari luar di segala sektor kehidupan, terutama sektor kebudayaan, perasaan superior itu bukan mendorong keterbukaan, sebaliknya ketertutupan. Ini tercermin dalam hal-hal kecil seperti larangan untuk mengucapkan ucapan selamat hari raya kepada golongan dari agama lain, atau bahkan ketakutan bahkan untuk sekedar mengucapkan “al-salamu ‘alaikum” kepada mereka.
Literatur polemis yang mencoba membuktikan keunggulan Islam dan kesalahan ajaran-ajaran agama lain juga banyak bermunculan akhir-akhir ini. Yang kadang terjadi dalam perjumpaan antara umat Islam dengan umat lain adalah bukan perjumpaan dialogis, tetapi perjumpaan polemis. Yang saya maksud dengan perjumpaan polemis adalah perjumpaan yang hanya ditandai oleh usaha untuk “self-justification” atau menjustifikasi diri sebagai lebih benar dari sistem kepercayaan lain. Dalam konteks inilah kita berhadapan dengan “fenomena Deedat”, yakni fenomena debat Islam-Kristen yang dilakukan oleh seorang polemis kondang dari Afrika Selatan, Ahmad Deedat. Sikap serupa juga muncul dari kalangan di luar Islam, seperti kita saksikan dari sejumlah literatur polemis yang ditulis oleh kalangan Kristen evangelis di Amerika, misalnya.
Pandangan lain yang menurut saya kurang sehat yang muncul dari gagasan tentang kelengkapan/kesempuraan Quran ini adalah gagasan tentang “kemanunggalan tafsir” (uniformity of interpretation). Pandangan ini menganggap bahwa Quran adalah teks yang tembus pandang, transparan, jelas sekali, sehingga maknanya tidak mengandung ambivalensi. Quran dianggap sebagai kitab dengan tafsir tunggal, tidak mengandung kemungkinan banyak tafsir. Jika suatu ayat dikutip dalam sebuah diskusi, maka ayat itu diandaikan akan menghentikan perbedaan dan menyelesaikan masalah sebab tafsirnya satu dan tidak mengandung kemungkinan tafsir lain.
Pandangan semacam ini berbahaya, sebab ujungnya adalah memaksanakan satu tafsir yang diikuti oleh pihak tertentu kepada pihak-pihak lain. Secara historis, gagasan ini juga tidak benar dan tidak terbukti sama sekali, sebab dalam sejarah tafsir kitab suci Islam, tidak pernah kita temui ketunggalan tafsir. Sarjana Islam sejak dahulu mendekati Quran dengan berbagai pendekatan, dan setiap pendekatan membawa tafsir yang berbeda. Pendekatan filsafat terhadap Quran akan membawa tafsir yang berbeda dengan pendekatan mistik, hukum, teologi, atau kesejarahana. Dalam sejarah tafsir Quran, kita mengenal berbagai corak tafsir beragam.
Karena Quran dipandang sebagai teks dengan tafsir yang tunggal, maka kecenderungan lain juga muncul, yaitu menyesatkan tafsir yang dianggap berbeda dari tafsir ortodoks yang telah dianggap baku, pakem, dan mencerminkan satu-satunya kebenaran. Fenomena “menyesatkan” yang akhir-akhir ini sering kita lihat di kalangan umat Islam, menurut saya, akibat lanjutan dari cara gagasan tentang kelengkapan/kesempurnaan Quran itu.
JIKA demikian, apakah gagasan tentang kelengkapan/kesempurnaan itu salah? Jelas tidak. Hanya saja, konsep tentang kelengkapan/kesempurnaan itu harus ditafsir ulang agar tidak menimbulkan sikap-sikap keagamaan yang kurang tepat. Apakah yang dimaksud dengan kelengkapan dan kesempurnaan di sana? Apakah Quran dianggap sebagai kitab suci yang sempurna dalam pengertian memuat segala hal, dan memberikan jawaban atas segala-rupa masalah? Ataukah kelengkapan di sana artinya adalah kelengkapan dalam aspek akidah, etika pokok, dan norma umum?
Dalam pandangan saya, jika konsep kelengkapan Quran dipahami dalam pengertian yang pertama, yaitu Quran memuat segala hal dan menjawab segal hal, jelas tidak benar . Dengan membaca Quran secara sekilas saja, kita akan tahu bahwa banyak hal yang tidak dimuat dalam Quran. Contoh yang sederhana adalah perdebatan soal status rokok: boleh atau tidak, haram, halal, atau makruh (tidak dianjurkan)? Fatwa terakhir yang dikeluarkan oleh Muhammadiyah, salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia, menyatakan bahwa merokok adalah haram. Tetapi, di lingkungan Muhammadiyah sendiri, fatwa itu tidak disetujui oleh semua kalangan, apalagi di luar Muhammadiyah.
Kalau kita merujuk kepada Quran, jelas tidak ada jawaban mengenai status rokok. Yang ada hanyalah norma umum yang tertuang dalam sebuah ayat yang populer, “wa la tulqu bi aidikum ila al-tahlukah,” jangan menjerumuskan diri kalian ke dalam tindakan yang membawa kerusakan. Ayat ini hanya memuat norma umum saja, dan tidak bisa langsung dan serta-merta dipahami sebagai deklarasi tentang haramnya merokok. Contoh ini hanya untuk memperlihatkan bahwa Quran tidak memuat semua hal, dan tidak menjawab semua masalah. Oleh karena itu, jika yang dimaksud dengan gagasan kelengkapan Quran adalah bahwa kitab suci itu memuat segala hal, sempurna dalam pengertian yang harafiah, maka jelas anggapan itu tidak benar. Contoh status rokok di atas adalah ilustrasi yang baik.
Kesempurnaan Quran harus dipahami dengan cara lain, yakni kesempurnaan pada aspek akidah dan norma umum. Norma-norma umum inilah yang kemudian dikembangkan lebih jauh oleh para sarjana Islam menjadi norma khusus. Salah satu contoh bagus sebagai ilustrasi adalah ayat yang sering dikutip, yaitu “wa amruhum shura bainahum,” dan urusan mereka dibicarakan secara musyawarah di antara mereka sendiri. Ayat ini hanya mengandung norma umum tentang pujian terhadap tindakan musyawarah. Ayat ini tidak secara khusus mendukung atau menolak, misalnya, konsep demokrasi, terutama demokrasi parlementer. Quran sendiri tidak memuat jawaban yang sifatnya khusus tentang demokrasi. Karena itu, ada banyak perbedaan di kalangan Islam sendiri, apakah demokrasi sesuai dengan ajaran Islam atau tidak. Ada kalangan, jumlahnya sangat sedikit, yang berpandangan bahwa demokrasi tidak Islami. Salah satu yang berpandangan seperti ini adalah pemikir asal Pakistan, Abul Ala al-Maududi. Kalangan aktivis Hizbut Tahrir juga mempunyai pandangan yang serupa.
Tetapi, sebagian besar umat Islam berpandangan bahwa Islam dan demokrasi tidak saling bertentangan, bahkan demokrasi dianggap sebagai perwujudan dari etika musyawarah (syura) yang dengan tegas disebut dalam Quran di atas.
Pemahaman tentang kelengkapan yang kedua ini lebih bersifat terbuka dan juga membuka diri pada perbedaan. Kelengkapan Quran bukan pada aspek norma khusus, tetapi norma umum. Sementara itu, terjemahan norma umum yang terdapat dalam Quran pada situasi kongkrit harus dilakukan sendiri oleh sarjana Muslim. Proses penerjemahan itu disebut dengan ijtihad atau penalaran berdasarkan akal, konteks, dan kerangka etika umum Quran/sunnah, berikut tradisi penalaran/penafsiran yang sudah berkembang sejauh ini dalam Islam. Dalam proses penerjemahan itu, jelas akan terjadi perbedaan di kalangan umat Islam sendiri. Norma umum dalam Quran hanyalah panduan umum saja; terjemahannya dalam situasi yang kongkret tidak serta merta mudah, dan juga tidak serta merta menimbulkan kesatuan pandangan. Dalam contoh rokok dan demokrasi di atas kita melihat bagaimana norma umum dalam Quran dipahami secara berbeda-beda oleh berbagai-bagai kalangan dalam Islam saat mereka harus menjawab suatu kasus atau situasi kongkrit.
Selebihnya, yang harus dibangun adalah etika perbedaan (adab al-ikhtilaf). Karena perbedaan dalam menerjemahkan etika umum Quran tidak terhindarkan, maka tidak selayaknya masing-masing pihak yang berbeda saling “adu” kleim kebenaran, dan menyesatkan pihak lain yang berbeda. Sikap saling-menyesatkan, bahkan lebih jauh lagi meng-kafir-kan, jelas tidak sehat dalam rangka membangun iklim pemikiran-kebudayaan yang dialogis dalam tubuh umat Islam. Etika syura atau musyawarah yang dianjurkan dalam Quran mengajarkan agar perbedaan disikapi secara positif. Terjemahan sikap yang positif terhadap perbedaan adalah “diskursus” atau saling bercakap dan bertukar pikiran dan ujaran. Itulah yang disebut dengan praktek syura atau musyawarah sebagaimana dikehendaki oleh Quran. Sudah tentu, dalam diskursus itu, bisa terjadi proses saling kritik, koreksi, oto-kritik, dan sebagainya.
Inilah tafsiran tentang kelengkapan dan kesempurnaan Quran yang menurut saya lebih sehat, sebab tidak mengandaikan rasa superioritas yang pada akhirnya mengarah kepada sikap tertutup.****

Riwayat Alferd North Whitehead

| | 0 komentar |
Riwayat Hidup


Alfred North Whitehead dilahirkan pada tanggal 15 februari tahun 1861 di Ramsgate, Kent, Inggris dan meninggal di Cambridge, Massachusettes, Amerika Serikat pada tanggal 30 Desember 1947. Dalam konteks sejarah dunia, masa hidupnya tersebut merupakan masa yang penuh dengan gejolak. Umum diketahui bahwa pada masa itu terjadi dua perang dunia yang mengguncangkan kehidupan seluruh umat manusia. Dalam masa itu juga ditandai dengan munculnya berbagai penemuan penting dalam bidang ilmu pengetahuan serta munculnya gagasan-gagasan revolusioner yang menciptakan paradigma baru dan mengubah sejarah. Pada masa itu juga muncul tokoh-tokoh seperti Charles Dawin, Albert Einstein, William James dan juga Hendri Bergson.
Alfred North Whitehead lahir dan dibesarkan dalam keluarga guru dan pendeta. Jabatan sebagai kepala sekolah dasar swasta di Ramgate, sudah dipegang ayahnya sejak tahun 1815. Sampai usia 14 tahun, Whitehead tinggal di Ramsgate. Ia diajarkan ayahnya sendiri untuk menguasai bahasa latin dan yunani. Minat akan pendidikan dan sejarah, sejak kecil sudah ada dalam diri Whitehead. Pada tahun 1875, Whitehead dikirim untuk sekolah di Sherborne, daerah Dorsetshire, bagian selatan inggris. Whitehead aktif menjadi seorang prefek (ketua OSIS) di sekolah tersebut. Di sekolah itu pula mulai muncul minatnya akan matematika yang nantinya akan menjadi bidang yang akan digeluti Whitehead dalam karier intelektualnya yang pertama.
Pada tahun 1880 Whitehead masuk Trinity College, di Cambrigde inggris. Disini ia memusatkan diri pada pendalaman bidang studi matematika murni dan terapan. Secara formal ia tidak menghadiri kuliah selain kuliah matematika. Kendati begitu, pendidikan bukan hanya didapat dari kuliah formal. Berkat diskusi-diskusi dengan para senior dan teman-temannya diluar jam kuliah, Whitehead banyak belajar mengenai masalah-masalah politik, agama, filsafat, dan kesusastraan waktu itu. Secara khusus ia mensyukuri keanggotaannya pada kelompok diskusi tersebut dan pada tahun 1885 ia menjadi guru muda di Cambridge kemudian tak lama setelah itu ia pindah mengajar ke Trinity College.
Pada bulan Desember 1890 ia menikah dengan Evelyn Wade, gadis irlandia yang mendapat pendidikan di Prancis. Sesudah menikah mereka hidup bersama di Grantchester, tak jauh dari Cambrigde. Dari perkawinannya dengan Evelyn, ia dikaruniai tiga orang anak. Pada tahun 1910 keluarga Whitehead pindah ke London dan pada tahun 1914 ia diangkat sebagai professor di Imperial College of Science and Technology. Jabatan ini dipegangnya sampai tahun 1924. Selama itu, dia juga bekerja sebagai administrator di Universitas London. Menjelang masa jabatannya berakhir, dia diangkat menjadi ketua dewan dosen.
Saat umurnya berusia 63 tahun, Whitehead memulai suatu petualangan baru dengan memutuskan untuk hijrah ke Amerika Serikat, memenuhi tawaran untuk menjadi pengajar Filsafat di Universitas Harvard. Pada usianya yang ke-86, Whitehead akhirnya meninggal dunia sebagai salah seoarang filsuf besar abad ini di Cambrigde, Massachusettes, Amerika Serikat pada 30 Desember 1947.

Karya

Karya-karya Whitehead bisa digolongkan menjadi tiga periode yang menandai tiga tahap perkembangan dalam karier intelektualnya. Pada periode pertama, antara tahun 1891 sampai 1913, pusat perhatiannya adalah pada dunia matematika dan logika. Buku pertama yang ia terbitkan adalah Universal Algebra (1898). Pada tahun 1905 ia menerbitkan sebuah artikel yang cukup mempengaruhi perkembangan filsafatnya dikemudian hari, yakni “On Mathematical Concepts of the Maoms of Projective Geometry (1906). Dan The Axiom of Descriptive Geometry (1997). Pada tahun 1910 terbitlah buku yang cukup terkenal dan dia kerjakan bersama Bertrand Russell, yakni Principia mathematica. Periode pertama dalam perkembangan pemikiran Whitehead dimulai di Cambridge, Inggris, dan berhenti di London.
Periode kedua yang berlangsung dari tahun 1914 sampai 1923, oleh Victor Lowe disebut sebagai “London Pre-Speculative Epistemology”. Pada periode ini Whitehead memusatkan perhatiannya pada pengembangan suatu filsafat ilmu alam. Pada tahun 1914 ia menulisk sebuah artikel yang secara embrional sudah menampakkan beberapa ciri filsafatnya di kemudian hari. Artikel tersebut antara lain: “La Theorie Relationiste de l’ Espace”, “The Organisation of Thought”. Serta buku-buku yang berkaitan dengan ilmu alam yang mengandung unsure filosofis seperti: An Enquiry Concerning The Principles of Natural Knowledge (1919), The Concept of Nature (1920), dan The Principle of Relativity (1922). Periode kedua seluruhnya berlangsung di London.
Periode ketiga adalah periode Harvard. Di sana Whitehead sungguh-sungguh mulai menperkembangkan pemikiran filosofisnya. Periode ini oleh Victor Lowe disebut sebagai periode metafisika, karena dalam buku-bukunya Whitehead pada dasarnya mencoba untuk menyajikan suatu metafisika kosmologis dan pengetengahan peran gagasan-gagasan metafisis dalam perkembangan peradaban manusia. Sejak dia pindah ke Amerika, Whitehead mulai memberikan kuliah dan ceramah-ceramah dalam bidang filsafat. Pada tahun 1925 terbitlah bukunya yang mengawali pemikiran metafisisnya yaitu, Science and the Modern World. Tahun berikutnya (1926) terbit bukunya tentang kehidupan beragama yang berjudul Religion in the Making. Tahun 1927 ia menerbitkan buku yang memuat alur-alur pokok gagasan epistemologisnya yakni Symbolism, Its Meaning and Effect.
Karya terbesar dan merupakan suatu penyajian sistematis dari filsafatnya yang dia sebut sebagai filsafat organism adalah Process and Reality. Buku ini terbit tahun 1929 memang terkenal untuk dibaca dan dipahami isinya. Bukan hanya karena di dalamnya dikemukakan gagasan-gagasan baru yang menuntut perubahan cara berpikir kita yang biasa, tetapi juga karena begitu banyak istilah baru yang ia ciptakan dan gunakan. Whitehead amat sadar akan keterbatasan bahasa dalam mengungkapkan isi pikiran.

Cogito Ergo Sum-Descrates

| | 0 komentar |
Untuk sampai pada pernyataan Descartes tentang Cogito Ergo Sum, kita harus melewati proses pemikiran Descartes tentang keraguan sebagai titik tolak menemukan titik kepastian. Dia mulai dengan keraguan. Menurut Descartes, sekurang-kurangnya aku ragu bukanlah hasil tipuan. Semakin kita dapat meragukan segala sesuatu, kita semakin mengada. Justru keraguann inilah yang membuktikan kepada diri kita bahwa kita ini nyata. Selama kita ragu, kita akan merasa makin pasti bahwa kita nayat-nyata ada. Lebih lanjut Descartes mengatakan bahwa meragukan itu adalah berpikir. Maka kepastian akan eksistensiku dicapai dengan berpikir. Descartes kemudian mengatakan; “aku berpikir, maka aku ada”.

Yang ditemukan dengan metode keraguan adalah kebenaran dan kepastian yang kokoh, yaitu “cogito” atau kesadaran diri. Cogito itu kebenaran dan kepastian yang tak tergoyahkan karena aku mengertinya secara jelas dan terpilah-pilah. Cogito itu tidak ditemukan dengan reduksi dari prinsip-prinsip umum atau dengan intuisi. Kedua metode tradisional ini bisa dipakai untuk membenarkan wahyu, padahal yang disebut wahyu itu bisa disangsikan dan filsafat tidak mengizinkan ketidakpastian. Cogito ditemukan dirinya sendiri., tidak melaui Kitab Suci, dongeng, pendapat orang, prasangka, dst. Kesangsian Descartes sedemikian radikal, tetapi kesangsian ini hanya sebuah metode yang ditemukan baru, dia sebetulnya tertap memiliki minat metafisik. Keraguan ini bersifat metodis dan bukan sebuah skeptisisme seperti dalam pemikiran Hume.

Lebih lanjut Descartes memberikan argumentasi tentang pembutkian adanya Tuhan. Setelah menemukan cogito, yakni subjektivitas, pikiran atau kesadaran melaui kesangsian metodis. Descartes lalu menyebut pikiran sebagai ide bawaan yang sudah melekat sejak kita dilahirkan ke dunia ini. Dia mneyebutnya “res cogitans”. Dalam kenyataan, aku ini bukan hanya pikiran, tetapi juga sesuatu yang bisa di raba dan dlihat. Kejasmianku ini bisa saja merupkan kesan yang menipu, tetapi bahwa kesan itu ada sejak lahir, meskipun tidak selalu sempurna, menunjukkan bahwa kejasmian juga merupakan sebuah ide bawaan. Descartes menyebutnya keluasan atau res extensa. Akhirnya dia juga berpendapat bahwa aku juga memiliki ide tentang sempurna. Lalu, dia mengatakan bahwa bahwa Allah juga merupkaan ide bawaan. Di sinilah ia membuktikan tentang adanya Allah. Tentang keluasan atau kejasmanian, dia berpendapat mustahil Allah yang maha benar itu menipu kita tentang adanya kejasmanian. Karena itu, materi adalah juga suatu substansi. Akhirnya, Allah sendiri suatu substansi, maka Allah itu ada. Menyimpulkan bahwa kita memiliki idea Allah, maka Allah ada, disebut argumen ontologis. Di sini Descartes termasuk filsuf yang membuktikan adanya Allah sejalan dengan Anselmus dan Thomas. Lebih dari itu, ia sebetulnya mengandaikan bahwa adanya Allah menjadi ukuran segala pengetahuan, termasuk menjamin aku yang menyangsikan dapat mencapai kebenaran.

Muslim Liberal

| Rabu, 22 Desember 2010 | 0 komentar |
Ketika JIL (Jaringan Islam Liberal) mengenal Ulil Abshor Abdala sebagai tokoh Liberal yang populer itu, mereka - kaum lberalm - kurang mengenal tokoh pemuka faham liberal di Indonesia yaitu "Ahmad Wahib", Ahmad wahib  bisa dikatakan merupakan tokoh yang mengemukakan pemikiran-pemikiran liberal yang kini dianut dan ditafsiri oleh tokoh-tokoh liberal di Indonesia bahkan di dunia.

Faham Liberal sebenarnya bukanlah seperti yang dipopulerkan dan diadobsi oleh kaum liberal saat ini. Ahmad wahib memberi pengertian Islam liberal sebagai Islam pembaharu, yang memperbaharui cara berpikir, cara mengenal tuhan, cara memahami al-Qur'an, cara memahami hukum, cara mengaplikasikan hukum, dan sampai cara mengaplikasikan Islam sendiri dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial yang kini posisinya telah lama termarginalkan oleh sekte-sekte Islam konservatif.
pemikiran-pemikiran Ahmad Wahib seharusnya dilestarikan oleh pemikir-peemikir atau para cendikiawan muslim di Indonesia sebagai bentuk pembaharuan yang progresif dalam Islam, sehingga posisi Islam lebih sebagai Agama, bukan sebagai sekte atau aliran.

Pengikut

Mengenai Saya

Foto saya
Just the notes to make my mind development as a journal.
Diberdayakan oleh Blogger.