Memang Nabi terakhir dalam Islam adalah Nabi Muhammad. Beliau adalah Nabi penutup. Jika ada yang mengaku Nabi sesudah beliau maka tidak diragukan lagi maka orang itu adalah Nabi palsu. Dan orang yang mempercayainya otomatis akan dinilai sesat. Karena itu umat Islam wajib mempercayai hal ini. Setidaknya itulah yang sudah lazim dikotbahkan, diceramahkan dan ditulis dalam banyak buku agama Islam (mainstream). Termasuk dalam banyak diskusi dan omong-omong seputar Islam. Tapi …
Saya ini kan bandel bin gatal
Kadang-kadang saya terima klaim seperti itu. Tapi kadang-kadang tidak. Walaupun ada ayat Alquran yang mengarah ke pengertian seperti itu (yang hafal Alquran bantu saya mengutipnya). Kenapa? Saya tidak mudah percaya. Ini kunci kejahatan saya. Tidak mudah percaya dengan segala dogma. Walaupun banyak umat beragama dan aliran kepercayaan, mengklaim ajarannya dari Tuhan. Sehingga dengan modal klaim dari Tuhan, secara tersirat semua itu tidak mungkin salah. Dan secara tidak langsung ingin menyatakan YOU harus percaya. Kalau tidak YOU masuk neraka.
Definisi Nabi itu bagi saya lain.
Tidak semua orang punya kepekaan akan nilai-nilai Religius. Ini saya akui. Tapi apakah ini sudah kodrat? Jika memang kodrat, maka percuma dong saya dihidupkan Tuhan tanpa saya dapat memilih dan mengembangkan diri. Apa artinya saya dihukum dan diberi pahala jika toh saya sudah disetting dari sononya. Katanya di Luf Mahfuz. Artinya segala perbuatan saya bukan atas kehendak saya. Jika penalaran ini diterima, sama saja dengan Tuhan kurang kerjaan (maaf anda jangan tersinggung. Contohlah Tuhan yang tidak mudah tersinggung).
Saya diciptakan. Lalu diberi akal. Kata Tuhan gunanya untuk berpikir. Tapi saya tidak bisa memilih. Alias sudah ditakdirkan begini begitu. Singkat kata segalanya sudah ditentukan Tuhan dari A sampai Z dan dari nol sampai angka terakhir (mati atau kiamat). Nah, apakah tidak lucu penalaran seperti ini? Atau otak saya ini yang cara kerjanya sudah tidak beres? Bukankah pahala dan dosa itu baru klop jika segala perbuatan saya atas kehendak saya. Atas pilihan saya?
Nah, jika penalaran di atas saya nilai ngawur, alias tidak nalar, maka saya harus meloncat ke model penalaran berikutnya. Berarti segalanya bukan ditentukan oleh Tuhan. Tuhan hanya bikin hukum alam. Melalui mekanisme hukum alam itulah segala gejala dan aktivitas unsur alam diproses. Ada mekanisme kausalitas. Yang tidak makan ya lapar. Yang main air ya basah. Yang belajar yang jadi pandai. Dan seterusnya. Ini konsekwensi dari hukum alam.
Jika penalaran ini saya terima, berarti tidak ada manusia yang istimewa dari manusia lainnya. Tuhan Maha Adil. Tidak ada Tuhan pilih kasih. Bahkan … ujung-ujungnya tidak ada istilah utusan Tuhan (Nabi, Yesus dan lain-lain). Yang ada adalah ada manusia tertentu yang kuat dan peka mengasah penalaran dan perenungannya. Sehingga terjadi kontak dengan dimensi alam spiritual yang juga merupakan bagian dari hukum alam. Yaitu hukum alam yang bersifat psikis. Sama dengan aksi reaksi perasaan antar sesama manusia. Mirip dengan bagaimana anda yang perempauan jika jatuh cinta pada saya. Sehingga ketika anda rindu pada saya, klik! Maka saya pun juga akan merasa rindu pada anda. Tanpa ada perjanjian bahwa kita harus saling merindu. Tanpa ada kabel LAN yang mengubungakan antara hati saya dengan hati anda. Kenapa hal itu bisa terjadi? Karena memang ada mekanisme hukum alam yang bersifat spiritual. Bersifat bathin. Ada interaksi bathin. Nah, para Nabi dan Rasul, bagi saya bisa masuk pada kategori ini. Mereka mengadakan kontak dengan Tuhan melalui mekanisme hukum spiritual, hukum alam bathiniah. Dimenasi hukum psikis. Sehingga mereka mendapatkan pencerahan spiritual. Seperti juga pencerahan intelektual pada seorang pemikir.
Hanya saja mereka dilabeli dengan banyak nama. Entah itu Nabi, Rasul, Rabi, Buddhis, Rohaniawan, Cendekiawan atau Cendawan sekalipun. Terserah apa namanya. Bisa juga Tuhan namanya, seperti yang diklaim untuk Yesus (maaf ini pendapat saya lho. Jangan marah dulu. Tuhan Bapa sendiri tidak pemarah bukan).
Nah, semua nama itu adalah semcam pengakuan, penghormatan, pemuliaan dan pengagungan pada sosok-sosok orang yang seperti itu. Kejadian seperti ini tidak sulit dibuktikan. Bagaimana proses seorang tokoh yang semula beranjak dari manusia biasa, kemudian karena ada kelebihan (karena kegigihannya, apapun bidangnya) lambat laun menjelma menjadi seorang pakar, guru, suhu, master, kyai, sampai… dengan istilah Nabi (atau Tuhan pada Yesus, maaf).
Nah, Kenabian, Kerasulan, Ketuhanan (khusus pada Yesus), adalah diangkat oleh manusia. Dinobatkan atau dibaptis oleh manusia secara bersama-sama. Pada mulanya mulai dari satu dua tiga orang kemudian menjalar sampai pada banyak orang. Kalau pada Muhammad, yang pertama kali mengakui Kenabiannya adalah isterinya Khadijah. Kemudian seorang pendeta Nasrani pada waktu itu, sepupu dari Kahadijah sendiri (aslinya saya tidak tahu. Ini kan berdasarkan bacaan. Memangnya saya hidup di zaman itu). Setelah itu diakui lagi oleh Ali bin Abi Thalib. Karena dia juga tinggal di rumah Muhammad. Berikutnya Abu Bakar, Umar bin Khatttab dan seterusnya. Sampai kemudian secara bertahap merambah ke berbagai wilayah antar suku daerah dan Negara.
Begitu juga dengan penokohan pada seseorang. Silahkan saja anda sebut siapa tokohnya. Pada mulanya berangkat dari kekaguman akan pemikiran, perenungan, penghayatan atau kepandaiannya akan sesuatu. Lalu dikagumi dan akhirnya secara bertahap berubah menjadi pengagungan. Nah, seandainya tidak ada satu orang pun yang mengakui kelebihan prestasi seseorang seperti itu, apakah akan terjadi seseorang itu menjadi seorang tokoh atau Nabi?
Jangan dikira tidak ada orang yang seperti itu. Tapi karena tidak populis, tidak dieskpos, tidak disiarkan, maka keunggulannya itu hanya menjadi untuk dirinya sendiri. Sebagai contoh untuk penalaran ini, jangan dikira yang tidak pernah menulis di Kompasiana tidak pandai menulis, bahkan mungkin bisa jauh jauh lebih hebat kemampuan menulisnya dari semua Kompasianer. Tapi karena dia menulis hanya untuk dirinya sendiri, disimpan di Ms Word dan folder komputernya saja, maka tidak ada orang lain yang mengetahuinya.
Nah, itulah yang disebut proses kultuisasi. Proses pengkultusan pada seorang sosok. Pada seorang tokoh. Dan orang yang terbius oleh kultuisme inilah calon-calon nasionalis vigur. Nasionalisme agama, nasinalisme Nabi, Nasionalisme Muhammad, Nasionalisme Yesus, dan lain-lain. Sehingga jika mereka temukan ada suatu pendapat yang berbeda apalagi ada orang yang menghina (menurut mereka) vigur yang dikultuskannya, maka mereka akan langsung mengamuk. Karena objek pemujaannya sudah diganggu oleh orang lain.
Jadi apa hubungannya dengan judul tulisan ini?
Ah.. masak anda tidak bisa menghubungkannya.
Kalau tidak bisa menghubungkannya ya bertanya juga boleh kok.
Masak langsung marah-marah.
Kalau tidak bisa menghubungkannya ya bertanya juga boleh kok.
Masak langsung marah-marah.